Minggu, 26 Februari 2017

Antara Kebutuhan Rumah dan Kebutuhan Kekinian Generasi Milennial

Bicara soal kebutuhan kekinian generasi millennial yang hidup di kota besar seperti Jakarta, maka kita akan bicara soal kebutuhan untuk terkoneksi melalui langganan paket internet, kebutuhan untuk tampil bugar dengan menjadi member pada fitness center, kebutuhan untuk tampil menawan dengan memiliki jadwal ke salon, kebutuhan untuk refreshing dengan berlangganan streaming musik seperti spotify, TV Kabel atau berliburan ke tempat eksotis, kebutuhan untuk bersosialisasi dengan kongkow di Starbucks atau kafe-kafe nge-hits lainnya dan kebutuhan kekinian lainnya. Bagi sebagian generasi millennial, kebutuhan kekinian tersebut  bahkan telah menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk menjaga keseimbangan hidup dari tekanan kehidupan kota besar.

Padahal di era orde baru, generasi millennial yang sempat mencicipi propaganda kurikulum orde baru seperti saya kerap didoktrin bahwa kebutuhan primer itu mencakup tiga hal, yakni sandang, pangan, dan papan. Untuk dua hal yang pertama, yakni sandang dan pangan rasanya sudah dapat dicukupi dengan baik. Tetapi ketika bicara kebutuhan papan alias rumah, maka jangankan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, generasi millennial yang rata-rata kelas menengah pun rata-rata tergopoh-gopoh dalam rangka mewujudkannya.

Data BPS (per tahun 2015) menunjukkan hanya 51,09% warga Jakarta yang memiliki rumah. Jauh lebih rendah dibanding rata-rata nasional yang mencapai 82,63%. Tak heran jika isu kepemilikan rumah menjadi isu seksi pada pilgub DKI 2017 mengingat hampir setengah dari warga Jakarta (48,91%) berstatus belum memiliki rumah. Tren di negara maju sendiri menunjukkan hal serupa dimana kepemilikan rumah secara keseluruhan di negara-negara maju rata-rata di bawah 70%, bahkan di Korea, Jerman, dan Swiss kisarannya sudah di bawah 60%. Khusus di kota-kota besar di negara maju seperti London, Berlin, Tokyo, New York, Seoul dll tingkat kepemilikan rumah bahkan sudah di bawah 50%. Bukan tidak mungkin persentase kepemilikan rumah di Jakarta akan terus menurun seperti di kota-kota besar dunia lainnya bila tidak ada intervensi yang tepat dari pemerintah.
Kembali ke topik kebutuhan generasi millennial, beberapa kali saya menemukan tulisan yang membahas tentang tidak urgent-nya memiliki rumah mengingat harga rumah yang tidak terkendali akibat inflasi harga tanah yang memakan kenaikan penghasilan tahunan yang tidak seberapa. Juga karena anggapan bahwa golongan millennial “anti-kemapanan” yang terkejawantahkan dalam kurangnya loyalitas mereka atas pekerjaan mereka yang membuat mereka sewaktu-waktu dapat meninggalkan pekerjaan mereka. Serta aneka ragam kebutuhan “kekinian” yang tak kadang mengambil porsi yang cukup besar dari penghasilan bulanan. Ketiga hal tersebut kerap disodorkan sebagai alasan mengapa sebaiknya generasi millennial tidak perlu “ngoyo” untuk memiliki rumah sendiri kecuali jika penghasilan mereka sudah mencukupi untuk keluar dari kalangan menengah  menjadi kalangan atas. (Sebagai ilustrasi, jika mengacu pada ADB, range pengeluaran kelas menengah per hari berkisar $2 - $20).

Dalam pandangan subjektif saya, untuk mereka yang belum berkeluarga dan yang sudah menikah tapi belum memiliki anak, maka memiliki rumah bukanlah suatu keharusan. Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri maupun kebutuhan kekinian untuk menyeimbangkan hidup layak lebih dikedepankan dibandingkan mengorbankan sebagian porsi penghasilan untuk membayar cicilan rumah. Sayang jika energi besar dan kreativitas yang dimiliki oleh generasi millennial terpasung oleh rutinitas pelunasan cicilan rumah. Saya sendiri beberapa kali mendengar keluhan berbagai orang generasi di atas saya (generasi X) yang sudah tidak memiliki gairah lagi di tempat kerjanya, namun memilih tetap bertahan pada zona nyaman mereka akibat adanya tuntutan cicilan rumah yang belum terlunasi.

Sebaliknya bagi mereka yang sudah menikah dan sudah memiliki anak atau setidaknya berencana memiliki anak, saya rasa memiliki rumah tetap termasuk dalam prioritas utama yang harus diperjuangkan. Hal ini demi memberikan kepastian hidup khususnya bagi sang anak. Tak bisa dibayangkan kondisi psikologis anak yang harus berpindah-pindah untuk mengikuti orang tuanya bila suatu saat pemilik properti tempat kita tinggal tidak bersedia memperpanjang masa kontrak kita sehingga kita harus mencari tempat tinggal baru.


Pada akhirnya sebagai sesama generasi millennial, saya ucapkan selamat berjuang untuk teman-teman yang tengah bergerilya mencari rumah idaman dan juga kepada teman-teman yang sedang berpusing ria menghadapi tagihan cicilan rumah yang jatuh tiap bulannya. 

1 komentar: