Minggu, 27 Februari 2011

Langkah-Langkah Strategis untuk Meminimalisasi Hadirnya Kekerasan di Masyarakat

Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 25 Februari 2011

Mantan Presiden Amerika Serikat, yakni Abraham Lincoln pernah berujar, “A nation divided against itself, cannot stand” yang bermakna bahwa nasib suatu negara akan hancur jika terus dilanda perpecahan dari dalam. Begitu pula dengan apa yang dialami Indonesia saat ini yang tengah marak dilanda konflik horizontal sehingga apabila tidak ada penanganan lebih lanjut maka bukan tidak mungkin tanda tanya besar akan menggelayuti masa depan bangsa ini.

Secara telanjang bisa kita saksikan di media-media kekerasan-kekerasan yang terjadi saban hari yang tidak jarang bermuara pada terjadinya konflik yang lebih besar menjadi santapan empuk masyarakat. Tentunya kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlarut hingga menjatuhkan negara ini ke dalam hiruk-pikuk anarki.

Oleh karena itu perlu diterapkan langkah-langkah strategis untuk meminimalisasi potensi hadirnya kekerasan di masyarakat. Langkah yang pertama dan yang paling penting adalah membenahi dan memupuk modal sosial di tengah masyarakat dengan cara membangun kesepahaman di tengah perbedaan. Fukuyama dalam bukunya Guncangan Besar menyebutkan bahwa modal sosial memungkinkan berbagai kelompok di dalam masyarakat yang kompleks untuk bergabung bersama dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing yang mungkin diabaikan oleh negara. Jadi dengan adanya kesatuan gerak justru kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing kelompok lebih efektif untuk diperjuangkan dibanding bila berjuang sendirian atau malah dengan memaksakan kehendak dengan kekerasan atas kelompok lain.

Langkah yang berikutnya adalah mengoptimalisasi peran negara yang dikejawantahkan melalui aparat-aparatnya. Dengan mendasarkan pada teori perjanjian sosial milik J.J. Rosseau maka negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat yang telah menyepakati untuk menyerahkan kedaulatan pada negara untuk melindungi kepentingan mereka. Dalam prakteknya negara seakan tidak berdaya menyelesaikan kekerasan-kekerasan yang terjadi di masyarakat. Di samping itu ketidakmampuan untuk mendeteksi potensi-potensi timbulnya kekerasan menyebabkan sulit untuk dilakukan tindakan preventif sebelum tindak kekerasan itu muncul di tengah masyarakat. Akibatnya masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap negara khususnya kepada aparaturnya selaku pelaksana di lapangan. Jadi negara harus berbenah diri karena merekalah garda terdepan dalam upaya melindungi warganya sendiri.

Lalu langkah selanjutnya adalah menghimbau media untuk lebih selektif dalam menyajikan berita. Tanpa disadari niat media yang berusaha menghadirkan berita yang sekomprehensif mungkin bahkan hingga menayangkan tayangan-tayangan kekerasan yang vulgar berdampak buruk bagi sebagian anggota masyarakat. Sebab tingkat kecerdasan anggota masyarakat dalam memilah informasi yang baik maupun yang buruk tidak sama. Akibatnya secara tidak sadar mereka yang kurang mampu menyeleksi kualitas dari suatu informasi yang disebarkan menjadi terdorong untuk mengimitasi kejadian-kejadian yang mereka lihat di media khususnya yang terkait kekerasan karena mereka menganggap sajian kekerasan tersebut sebagai hal yang lumrah. Jadi tanpa mengurangi kemerdekaan pers seharusnya ada batasan-batasan dalam penayangan suatu berita dimana untuk suatu berita yang mengandung kekerasan cukuplah diberitakan sesuai porsinya tanpa harus dipaparkan hingga serinci mungkin.

Ketiga langkah yang telah dipaparkan ini merupakan saripati dari peran-peran utama yang harus dimainkan oleh masyarakat, negara, dan media dalam upaya mencegah timbulnya kekerasan dimana dalam prakteknya dibutuhkan sinergisitas satu sama lain untuk saling menopang. Dengan dilaksanakannya ketiga langkah strategis ini secara konkret dan tepat sasaran maka kekhawatiran akan terjadinya failed State dapat dienyahkan.

Tantangan 2011:Mengembalikan Supremasi Olahraga Nasional

Tulisan ini dimuat di seputar indonesia edisi 15 Januari 2011

Euforia atas keberhasilan kontingen merah putih meraih 4 emas pada Asian Games 2010 lalu serta keberhasilan tim sepakbola merah putih melaju ke final piala AFF seharusnya dapat dijadikan pemicu bagi dunia olahraga nasional untuk mengembalikan supremasi kita. Dengan ditetapkannya Indonesia sebagai penyelenggara SEA Games 2011 maka kita jadikan tahun ini sebagai momentum atas kebangkitan olahraga nasional yang diawali dengan menjadi juara umum SEA Games 2011.

Di samping dua prestasi besar tersebut, sebenarnya bila dievaluasi lebih komprehensif maka dapat dikatakan bahwa prestasi olahraga kita cenderung stagnan pada tahun ini. Bulutangkis misalnya sebagai cabang yang secara tradisional menjadi pengharum nama Indonesia pada tahun ini praktis sangat mengecewakan prestasinya karena dalam setahun ini hanya dua gelar Super Series yang bisa diraih dari total 65 gelar ditambah dengan sebuah emas di Asian Games 2010.

Sedangkan pada cabang-cabang olimpik yang terukur seperti atletik, renang, dan menembak Indonesia relatif baru bisa bersaing di tingkat Asia Tenggara saja.Padahal ketiga cabang tersebut merupakan cabang yang paling banyak menyediakan medali emas dan selalu dipertandingkan pada setiap ajang multicabang. Berbeda dengan cabang perahu naga yang walaupun kita berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan meraih 3 medali emas di Asian Games 2010, namun cabang ini bukanlah cabang yang secara tradisional pasti diselenggarakan dalam suatu ajang multicabang.

Oleh karena itulah untuk mencapai tujuan menjadi juara umum di SEA Games 2011 nanti maka segalanya harus diawali dengan mengevaluasi pembinaan yang telah dilakukan selama ini. Seperti yang kita ketahui proses pembinaan olahraga di Indonesia sangat bergantung pada kebijakan KONI dan Menpora karena mayoritas asosiasi olahraga yang menaungi pembinaan olahraga di bawahnya pada umumnya cenderung pasif menunggu komando dari atas. Padahal pengambilan kebijakan yang bersifat top down yang untuk SEA Games ini diwujudkan dalam Program Indonesia Emas (Prima) sesungguhnya agak kurang tepat karena setiap pembinaan suatu cabang olahraga memiliki karakteristik masing-masing sehingga tidak bisa dipukul rata.

Kemudian seharusnya dalam proses pembinaan tersebut dibangun secara berkelanjutan dan bertahap, jadi tidak bersifat periodik saja karena adanya suatu event besar tertentu. Lalu event-event tingkat nasional seperti PON harus dijadikan sebagai momen untuk menjadi landasan dalam mencapai prestasi tertinggi di tingkat regional, dan internasional. Jangan seperti sekarang dimana PON dijadikan alat untuk meraih popularitas dan gengsi antar provinsi yang berujung pada pemanfaatan kejayaan suatu daerah bagi kepentingan politik dari kepala daerah tersebut sehingga tujuan PON sebagai kawah candradimuka pembinaan dalam negeri tidak tercapai.

Terakhir kita tidak bisa mengabaikan pula peran gabungan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam mengembalikan supremasi olahraga nasional. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan-kebijakan yang pro pengembangan olahraga nasional, kemudian pengusaha sebagai pemilik modal berperan dalam upaya penyokongan penyelenggaraan proses pembinaan olahraga, dan masyarakat dengan segala dayanya berperan aktif dalam mendukung proses menuju supremasi tersebut. Sekarang kita tinggal menunggu apakah kita semua dapat menjawab tantangan untuk mengembalikan supremasi olahraga nasional. Oleh karena itu kita semua tentunya berharap momen SEA Games 2011 ini akan menjadi tonggak bangkitnya kejayaan olahraga nasional yang telah lama kita nanti-nantikan.