Minggu, 26 Februari 2017

Beruntungnya Para Walikota di Wilayah yang Berbatasan dengan Jakarta

Tak terbayang rasa kesal di dalam hati saya ketika saya harus menghabiskan waktu menyetir selama 50 menit untuk jarak yang hanya 3 km di suatu jalan utama di Depok. Sesungguhnya macet di area tersebut sudah saya prediksi dan hanya bisa dihindari dengan menggunakan sepeda motor. Namun dalam kondisi hujan badai, tidak ada pilihan yang lebih baik selain menggunakan mobil.

Celakanya, kemacetan yang melanda daerah suburban Jakarta telah tersebar merata pada saat akhir pekan. Sialnya lagi sebagian lokasi tersebut tidak dapat dijangkau dengan transportasi massal seperti KRL Commuter Line ataupun Transjakarta. Sementara angkot dan bis kota yang tersedia gagal memberikan pelayanan yang setara dengan KRL maupun Transjakarta. Tak heran jika warga suburban masih banyak yang menggunakan kendaraan pribadi alih-alih berkontribusi mengurangi kemacetan dengan menggunakan kendaraan umum.

Sayangnya hingga kini Walikota Depok, Bekasi, Tangerang, dan Tangerang Selatan masih belum berhasil membangun sistem transportasi yang memadai bagi warganya ataupun melakukan intervensi lain yang mampu mengurangi kemacetan. Alasan ketiadaan anggaran kerap diapungkan oleh para walikota tersebut. Lucunya walaupun tetangga mereka, yakni DKI Jakarta berlimpah anggaran yang kerap tak terserap sempurna, namun inisiatif mereka untuk mengajak Pemprov DKI bekerjasama dalam menyelesaikan permasalahan transportasi di wilayahnya sangat rendah. Hal ini ditambah lagi dengan pengeluaran izin pembangunan pemukiman, pusat perbelanjaan dll yang tidak sesuai dengan RTRW sehingga kerap menimbulkan titik kemacetan baru.

Beruntungnya, kritik yang diterima oleh walikota tersebut tidak sederas yang diterima oleh Gubernur DKI Jakarta. Padahal sedari zaman Sutiyoso hingga Basuki, berbagai upaya telah dilakukan oleh para Gubernur DKI Jakarta untuk memperlancar lalu lintas di wilayahnya. Sebaliknya di wilayah suburban inisiatif-inisiatif dari para walikota untuk mengatasi kemacetan masih jauh dari harapan.

Kurangnya akses informasi terhadap upaya penanganan kemacetan di wilayah suburban membuat warga suburban lebih sering mengomentari apa yang terjadi di Jakarta dikarenakan mereka kurang mengetahui perkembangan di wilayahnya. Hal ini ditambah dengan banyaknya warga suburban yang mengadu nasib ke Jakarta sehingga rasa kepemilikan mereka terhadap Jakarta lebih tinggi dibanding rasa kepemilikan  mereka terhadap daerah asalnya.


Oleh karena itu walau terletak di samping Jakarta, tetapi nasib para walikota suburban ini jauh lebih baik daripada Gubernur DKI Jakarta. Sekeras apapun usaha Gubernur DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan, tetap usaha mereka masih mendapat caci maki dari sebagian warganya (dan warga suburban). Sebaliknya di wilayah suburban, tanpa harus bekerja keras sebagaimana Gubernur DKI, kritik kepada mereka sebatas umpatan-umpatan dalam hati dari para warganya yang terjebak kemacetan. Ditambah lagi tiap ada pilkada, pesaing mereka relatif tidak ternama atau memiliki gagasan yang segar. Jadinya makin lengkaplah keberuntungan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar