Tak terbayang rasa kesal di dalam
hati saya ketika saya harus menghabiskan waktu menyetir selama 50 menit untuk
jarak yang hanya 3 km di suatu jalan utama di Depok. Sesungguhnya macet di area
tersebut sudah saya prediksi dan hanya bisa dihindari dengan menggunakan sepeda
motor. Namun dalam kondisi hujan badai, tidak ada pilihan yang lebih baik
selain menggunakan mobil.
Celakanya, kemacetan yang melanda
daerah suburban Jakarta telah tersebar merata pada saat akhir pekan. Sialnya
lagi sebagian lokasi tersebut tidak dapat dijangkau dengan transportasi massal
seperti KRL Commuter Line ataupun Transjakarta. Sementara angkot dan bis kota
yang tersedia gagal memberikan pelayanan yang setara dengan KRL maupun
Transjakarta. Tak heran jika warga suburban masih banyak yang menggunakan
kendaraan pribadi alih-alih berkontribusi mengurangi kemacetan dengan
menggunakan kendaraan umum.
Sayangnya hingga kini Walikota
Depok, Bekasi, Tangerang, dan Tangerang Selatan masih belum berhasil membangun
sistem transportasi yang memadai bagi warganya ataupun melakukan intervensi
lain yang mampu mengurangi kemacetan. Alasan ketiadaan anggaran kerap
diapungkan oleh para walikota tersebut. Lucunya walaupun tetangga mereka, yakni
DKI Jakarta berlimpah anggaran yang kerap tak terserap sempurna, namun
inisiatif mereka untuk mengajak Pemprov DKI bekerjasama dalam menyelesaikan
permasalahan transportasi di wilayahnya sangat rendah. Hal ini ditambah lagi dengan
pengeluaran izin pembangunan pemukiman, pusat perbelanjaan dll yang tidak
sesuai dengan RTRW sehingga kerap menimbulkan titik kemacetan baru.
Beruntungnya, kritik yang
diterima oleh walikota tersebut tidak sederas yang diterima oleh Gubernur DKI
Jakarta. Padahal sedari zaman Sutiyoso hingga Basuki, berbagai upaya telah
dilakukan oleh para Gubernur DKI Jakarta untuk memperlancar lalu lintas di
wilayahnya. Sebaliknya di wilayah suburban inisiatif-inisiatif dari para walikota
untuk mengatasi kemacetan masih jauh dari harapan.
Kurangnya akses informasi
terhadap upaya penanganan kemacetan di wilayah suburban membuat warga suburban
lebih sering mengomentari apa yang terjadi di Jakarta dikarenakan mereka kurang
mengetahui perkembangan di wilayahnya. Hal ini ditambah dengan banyaknya warga
suburban yang mengadu nasib ke Jakarta sehingga rasa kepemilikan mereka
terhadap Jakarta lebih tinggi dibanding rasa kepemilikan mereka terhadap daerah asalnya.
Oleh karena itu walau terletak di
samping Jakarta, tetapi nasib para walikota suburban ini jauh lebih baik
daripada Gubernur DKI Jakarta. Sekeras apapun usaha Gubernur DKI Jakarta untuk
mengurai kemacetan, tetap usaha mereka masih mendapat caci maki dari sebagian warganya
(dan warga suburban). Sebaliknya di wilayah suburban, tanpa harus bekerja keras
sebagaimana Gubernur DKI, kritik kepada mereka sebatas umpatan-umpatan dalam
hati dari para warganya yang terjebak kemacetan. Ditambah lagi tiap ada
pilkada, pesaing mereka relatif tidak ternama atau memiliki gagasan yang segar.
Jadinya makin lengkaplah keberuntungan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar