Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 25 Februari 2011
Mantan Presiden Amerika Serikat, yakni Abraham Lincoln pernah berujar, “A nation divided against itself, cannot stand” yang bermakna bahwa nasib suatu negara akan hancur jika terus dilanda perpecahan dari dalam. Begitu pula dengan apa yang dialami Indonesia saat ini yang tengah marak dilanda konflik horizontal sehingga apabila tidak ada penanganan lebih lanjut maka bukan tidak mungkin tanda tanya besar akan menggelayuti masa depan bangsa ini.
Secara telanjang bisa kita saksikan di media-media kekerasan-kekerasan yang terjadi saban hari yang tidak jarang bermuara pada terjadinya konflik yang lebih besar menjadi santapan empuk masyarakat. Tentunya kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlarut hingga menjatuhkan negara ini ke dalam hiruk-pikuk anarki.
Oleh karena itu perlu diterapkan langkah-langkah strategis untuk meminimalisasi potensi hadirnya kekerasan di masyarakat. Langkah yang pertama dan yang paling penting adalah membenahi dan memupuk modal sosial di tengah masyarakat dengan cara membangun kesepahaman di tengah perbedaan. Fukuyama dalam bukunya Guncangan Besar menyebutkan bahwa modal sosial memungkinkan berbagai kelompok di dalam masyarakat yang kompleks untuk bergabung bersama dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing yang mungkin diabaikan oleh negara. Jadi dengan adanya kesatuan gerak justru kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing kelompok lebih efektif untuk diperjuangkan dibanding bila berjuang sendirian atau malah dengan memaksakan kehendak dengan kekerasan atas kelompok lain.
Langkah yang berikutnya adalah mengoptimalisasi peran negara yang dikejawantahkan melalui aparat-aparatnya. Dengan mendasarkan pada teori perjanjian sosial milik J.J. Rosseau maka negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat yang telah menyepakati untuk menyerahkan kedaulatan pada negara untuk melindungi kepentingan mereka. Dalam prakteknya negara seakan tidak berdaya menyelesaikan kekerasan-kekerasan yang terjadi di masyarakat. Di samping itu ketidakmampuan untuk mendeteksi potensi-potensi timbulnya kekerasan menyebabkan sulit untuk dilakukan tindakan preventif sebelum tindak kekerasan itu muncul di tengah masyarakat. Akibatnya masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap negara khususnya kepada aparaturnya selaku pelaksana di lapangan. Jadi negara harus berbenah diri karena merekalah garda terdepan dalam upaya melindungi warganya sendiri.
Lalu langkah selanjutnya adalah menghimbau media untuk lebih selektif dalam menyajikan berita. Tanpa disadari niat media yang berusaha menghadirkan berita yang sekomprehensif mungkin bahkan hingga menayangkan tayangan-tayangan kekerasan yang vulgar berdampak buruk bagi sebagian anggota masyarakat. Sebab tingkat kecerdasan anggota masyarakat dalam memilah informasi yang baik maupun yang buruk tidak sama. Akibatnya secara tidak sadar mereka yang kurang mampu menyeleksi kualitas dari suatu informasi yang disebarkan menjadi terdorong untuk mengimitasi kejadian-kejadian yang mereka lihat di media khususnya yang terkait kekerasan karena mereka menganggap sajian kekerasan tersebut sebagai hal yang lumrah. Jadi tanpa mengurangi kemerdekaan pers seharusnya ada batasan-batasan dalam penayangan suatu berita dimana untuk suatu berita yang mengandung kekerasan cukuplah diberitakan sesuai porsinya tanpa harus dipaparkan hingga serinci mungkin.
Ketiga langkah yang telah dipaparkan ini merupakan saripati dari peran-peran utama yang harus dimainkan oleh masyarakat, negara, dan media dalam upaya mencegah timbulnya kekerasan dimana dalam prakteknya dibutuhkan sinergisitas satu sama lain untuk saling menopang. Dengan dilaksanakannya ketiga langkah strategis ini secara konkret dan tepat sasaran maka kekhawatiran akan terjadinya failed State dapat dienyahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar