Bicara soal kebutuhan
kekinian generasi millennial yang hidup di kota besar seperti Jakarta, maka
kita akan bicara soal kebutuhan untuk terkoneksi melalui langganan paket
internet, kebutuhan untuk tampil bugar dengan menjadi member pada fitness
center, kebutuhan untuk tampil menawan dengan memiliki jadwal ke salon,
kebutuhan untuk refreshing dengan berlangganan streaming musik seperti spotify,
TV Kabel atau berliburan ke tempat eksotis, kebutuhan untuk bersosialisasi
dengan kongkow di Starbucks atau kafe-kafe nge-hits lainnya dan kebutuhan
kekinian lainnya. Bagi sebagian generasi millennial, kebutuhan kekinian
tersebut bahkan telah menjadi kebutuhan
primer yang harus dipenuhi untuk menjaga keseimbangan hidup dari tekanan
kehidupan kota besar.
Padahal di era orde
baru, generasi millennial yang sempat mencicipi propaganda kurikulum orde baru
seperti saya kerap didoktrin bahwa kebutuhan primer itu mencakup tiga hal,
yakni sandang, pangan, dan papan. Untuk dua hal yang pertama, yakni sandang dan
pangan rasanya sudah dapat dicukupi dengan baik. Tetapi ketika bicara kebutuhan
papan alias rumah, maka jangankan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan,
generasi millennial yang rata-rata kelas menengah pun rata-rata tergopoh-gopoh dalam
rangka mewujudkannya.
Data BPS (per tahun
2015) menunjukkan hanya 51,09% warga Jakarta yang memiliki rumah. Jauh lebih
rendah dibanding rata-rata nasional yang mencapai 82,63%. Tak heran jika isu
kepemilikan rumah menjadi isu seksi pada pilgub DKI 2017 mengingat hampir
setengah dari warga Jakarta (48,91%) berstatus belum memiliki rumah. Tren di
negara maju sendiri menunjukkan hal serupa dimana kepemilikan rumah secara
keseluruhan di negara-negara maju rata-rata di bawah 70%, bahkan di Korea, Jerman,
dan Swiss kisarannya sudah di bawah 60%. Khusus di kota-kota besar di negara
maju seperti London, Berlin, Tokyo, New York, Seoul dll tingkat kepemilikan
rumah bahkan sudah di bawah 50%. Bukan tidak mungkin persentase kepemilikan
rumah di Jakarta akan terus menurun seperti di kota-kota besar dunia lainnya
bila tidak ada intervensi yang tepat dari pemerintah.
Kembali ke topik
kebutuhan generasi millennial, beberapa kali saya menemukan tulisan yang
membahas tentang tidak urgent-nya memiliki rumah mengingat harga rumah yang tidak
terkendali akibat inflasi harga tanah yang memakan kenaikan penghasilan tahunan
yang tidak seberapa. Juga karena anggapan bahwa golongan millennial “anti-kemapanan”
yang terkejawantahkan dalam kurangnya loyalitas mereka atas pekerjaan mereka
yang membuat mereka sewaktu-waktu dapat meninggalkan pekerjaan mereka. Serta
aneka ragam kebutuhan “kekinian” yang tak kadang mengambil porsi yang cukup
besar dari penghasilan bulanan. Ketiga hal tersebut kerap disodorkan sebagai
alasan mengapa sebaiknya generasi millennial tidak perlu “ngoyo” untuk memiliki
rumah sendiri kecuali jika penghasilan mereka sudah mencukupi untuk keluar dari
kalangan menengah menjadi kalangan atas.
(Sebagai ilustrasi, jika mengacu pada ADB, range pengeluaran kelas menengah per
hari berkisar $2 - $20).
Dalam pandangan
subjektif saya, untuk mereka yang belum berkeluarga dan yang sudah menikah tapi
belum memiliki anak, maka memiliki rumah bukanlah suatu keharusan. Kebutuhan
untuk mengaktualisasi diri maupun kebutuhan kekinian untuk menyeimbangkan hidup
layak lebih dikedepankan dibandingkan mengorbankan sebagian porsi penghasilan
untuk membayar cicilan rumah. Sayang jika energi besar dan kreativitas yang
dimiliki oleh generasi millennial terpasung oleh rutinitas pelunasan cicilan
rumah. Saya sendiri beberapa kali mendengar keluhan berbagai orang generasi di
atas saya (generasi X) yang sudah tidak memiliki gairah lagi di tempat
kerjanya, namun memilih tetap bertahan pada zona nyaman mereka akibat adanya
tuntutan cicilan rumah yang belum terlunasi.
Sebaliknya bagi mereka
yang sudah menikah dan sudah memiliki anak atau setidaknya berencana memiliki
anak, saya rasa memiliki rumah tetap termasuk dalam prioritas utama yang harus
diperjuangkan. Hal ini demi memberikan kepastian hidup khususnya bagi sang
anak. Tak bisa dibayangkan kondisi psikologis anak yang harus berpindah-pindah
untuk mengikuti orang tuanya bila suatu saat pemilik properti tempat kita
tinggal tidak bersedia memperpanjang masa kontrak kita sehingga kita harus
mencari tempat tinggal baru.
Pada akhirnya sebagai
sesama generasi millennial, saya ucapkan selamat berjuang untuk teman-teman
yang tengah bergerilya mencari rumah idaman dan juga kepada teman-teman yang
sedang berpusing ria menghadapi tagihan cicilan rumah yang jatuh tiap bulannya.