Sabtu, 31 Desember 2011

Mengakar Dahulu, Memperkuat Kedudukan DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Kemudian

DPD itu apa sih? DPD itu makhluk apa sih? DPD apanya DPR sih? Dan masih banyak lagi ketidaktahuan masyarakat kita mengenai DPD. Bahkan tidak jarang pula sebagian orang salah kaprah dalam menyebutkan kepanjangan DPD dimana alih-alih menyebutkan DPD sebagai Dewan Perwakilan Daerah malah DPD dimaknai sebagai Dewan Pimpinan Daerah yang merupakan kepanjangan tangan partai di daerah tingkat I.
DPD sebagai suatu lembaga baru yang lahir pasca amandemen UUD 1945 kehadirannya masih terasa asing di tengah masyarakat walau telah dua periode pemilu berlalu. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat akan fungsi dan wewenang DPD khususnya warga daerah yang diwakilinya pantas dicermati lebih mendalam. Sebab di tengah keinginan sejumlah anggota DPD untuk memperkuat fungsi DPD supaya  sistem bikameral di Indonesia tidak berjalan semu akibat dominannya peranan DPR, kekurang mengakaran DPD di tengah masyarakat jelas kontraproduktif terhadap misi ini.
Sesungguhnya seruan penguatan fungsi DPD melalui amandemen UUD 1945 agar efektivitas keberadaan DPD lebih optimal telah lama menggema. Tetapi sayangnya seruan tersebut lebih banyak digelorakan internal DPD sendiri maupun dari kalangan akademisi. Sementara kalangan akar rumput yang merupakan basis konstituen dari para anggota DPD ini cenderung tidak tahu apa-apa mengenai permasalahan yang dialami DPD ini.
Dalam kenyataannya dukungan dari publik tidak dapat dipandang sebelah mata. Selama ini upaya DPD agar fungsi dan wewenangnya diperkuat melalui amandemen pengaturan DPD dalam UUD 1945 sulit dilakukan. Sebab untuk mengamandemen UUD 1945 dibutuhkan persetujuan dari 50% ditambah satu suara di MPR dengan kehadiran minimal 2/3 dari seluruh anggota MPR.[1] Padahal anggota MPR yang berjumlah 692 orang, konfigurasinya sangat menyimpang, yakni anggota DPD hanya berjumlah 132 sementara sisanya diisi oleh anggota DPR.[2] Timpangnya konfigurasi ini membuat menyulitkan upaya DPD untuk mengegolkan rencana amandemen UUD 1945. Ditambah lagi sebagian anggota DPR masih memiliki ego tentang superiotas DPR sebagai eks satu-satunya lembaga legislatif di Indonesia sebelum DPD hadir.
Untuk mengatasi hal itu maka selain lobi-lobi politik dengan pihak-pihak terkait, DPD tidak bisa mengabaikan peranan publik akar rumput. Bagaimanapun juga baik anggota DPD dan anggota DPR sama-sama dipilih rakyat yang pastinya saling beririsan. Kedua lembaga tersebut sama-sama membutuhkan legitimasi dari masyarakat. Menyadari kenyataan ini maka alangkah baiknya DPD secara massif mulai menyosialisasikan keberadaan DPD di tengah masyarakat. Setelah keberadaan DPD tersosialisasi dengan baik kemudian secara bertahap DPD memberikan edukasi politik tentang pentingnya penguatan fungsi DPD. Diharapkan kesadaran masyarakat tidak hanya terbangun seutuhnya namun juga tergugah untuk ikut mendorong penguatan fungsi DPD. Dari titik ini DPD mendapatkan modal berharga bila lobi politik di tingkat atas menemui jalan buntu. Jika hal ini terjadi maka masyarakat pasti tidak akan tinggal diam. Dengan telah tergugahnya kesadaran masyarakat untuk ikut aktif mendorong penguatan fungsi DPD membuat agregat dukungan memuncak dan perlahan-lahan timbul tekanan publik yang terus bereskalasi.  Adanya tekanan yang berlangsung dengan penuh kontinuitas ini lambat laun akan membuat pihak yang selama ini menjegal penguatan fungsi DPD tergugah sehingga selanjutnya mereka pasti mempertimbangkan pelolosan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kedudukan DPD di tataran ketatanegaraan kita. Kemudian mimpi untuk menguatkan fungsi DPD agar mampu berperan optimal pun dapat terwujud untuk selanjutnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi NKRI.


[1]Lihat pasal 37 UUD 1945.
[2]Susunan MPR periode 2009-2014